Lan Florence Yee, seorang seniman yang tinggal di Toronto dan Montreal, “memotret” krisis identitas diaspora di Amerika Utara. Melalui karya-karya yang merepresentasikan keterbatasan kepemilikan dari tenaga kerja, bahasa, dan keluarga, ia menggambarkan keluhan yang berakar dalam diaspora Asia. Berkarya sebagai seniman visual dan kolaborator seni di Toronto dan Montreal, ia mendefinisikan ulang batas-batas antara teks dan ruang publik. Karya-karyanya telah dipajang di ruang-ruang galeri terkemuka seperti The Museum of Contemporary Art, The Art Gallery of Ontario, The Textile Museum of Canada, dan Gardiner Museum. Terinspirasi oleh pengalaman hidup dan kisah-kisah orang-orang di sekitarnya, Yee terus menggali lebih jauh ke dalam kenangan yang membentuk pengalaman diaspora. 

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan EnVi, Yee berbincang dengan kami melalui Zoom untuk membahas latar belakangnya, teks sebagai bentuk seni, dan menguraikan beberapa karya seninya, termasuk A Language Not In Denial of Longing dan Seeking.

Pameran Gladi Pertama

Dengan pengalamannya dibesarkan di Montreal, kemahiran Yee dalam bahasa Prancis tak perlu dipertanyakan. Namun, karena penampilannya yang “asing,” Yee telah mengalami beberapa pertemuan yang membentuk pemikirannya dalam berkarya. 

Salah satu pengalaman ini terjadi selama pameran gladi pertamanya pada tahun 2016 di Ottawa, Ontario. Ketika kami berbincang, ia menceritakan pertemuan dengan seorang pria yang menjadi penting dalam kisah ini. Saat menyapa pria itu, Yee dilibatkan dalam percakapan yang tidak menyenangkan dan perundungan yang berakar kuat dalam sejarah. Di galeri tersebut, pengunjung dapat menempelkan stiker merah pada karya seni yang terjual serta karya-karya yang mereka anggap menarik. Namun, sang pria dengan bercanda menandai Yee dengan stiker itu di dadanya. Momen ini memacu Yee untuk bertanya tentang identitas diri dan sejarah dirinya, yang mulai tampak dalam seni dan pemikirannya. 

“Saya tidak memiliki bahasa untuk mengungkapkannya saat itu, tetapi saya berpikir tentang seluruh sejarah ini, seperti eksploitasi seksual dan penjajahan militer bersejarah yang membentuk pengalaman Asia,” jelas Yee. “Untuk bisa dijadikan bahan lelucon sebagai objek pameran, bukan sebagai manusia, adalah salah satu dari sekian banyak hal yang mendorong saya untuk mengeksplorasi seni lebih dalam.”

Yee juga sangat tersentuh oleh para profesor penduduk asli Amerika (Indigenous) dan berbagai dimensi identitas budaya. Kisah-kisah yang mereka bagikan tentang penyakit antargenerasi dan riwayat keluarga mendorong Yee untuk melihat sejarah keluarganya sendiri. Lapisan keingintahuan ini membantu Yee dalam mengonseptualisasikan karya tentang pengalaman-pengalaman terberi. Dengan menggeser pemikirannya dari berfokus pada konflik internal menjadi membentuk ide-ide eksternal, Yee mampu mempertanyakan pemahamannya tentang dunia melalui seni. “Bagaimana saya bisa memposisikan apa yang saya ketahui sekarang dengan cara yang penuh welas asih, yang memungkinkan orang lain ingin mengetahui lebih tentang diri mereka sendiri?” Yee memberikan ruang bagi audiens untuk mengintrospeksi diri. Ia percaya pada kemampuan audiens untuk terlibat dengan karyanya serta memproyeksikan ide-ide mereka sendiri ke dalam sebuah karya seni.

A Language Not in Denial of Longing

Yee menggambarkan keadaan hubungan antarpribadi yang rumit dengan mengangkat kesulitan-kesulitan dalam migrasi, keterputusan, hubungan, tenaga kerja, dan identitas queer (LGBTQ). Proyeknya yang berjudul A Language Not in Denial of Longing (Bahasa yang Tak Memungkiri Kerinduan, 2020) berpusat pada tenaga kerja sebagai sebuah tuntutan yang menindas dalam diaspora Kanton. Melihat praktik-praktik budaya yang ditinggalkan karena usaha asimilasi di Kanada, Yee menciptakan sebuah buku yang mencatat pengalaman hidup.

Artwork Lan Florence Yee titled i tried to interview my dad.
i tried to interview my dad (2019)

Yee menemukan suara melalui topik-topik “sepele” yang menarik dengan melakukan wawancara di luar konteks jurnalistik. “Mereka seperti melekat dengan rasa yang membuat gatal, dan itu bagi saya telah menjadi inti dari pekerjaan saya. Semacam menelusuri pertanyaan-pertanyaan setiap tahun daripada luka yang menganga,” katanya. 

Dengan keinginan untuk terhubung dengan budaya tak kasatmata, Yee mengakui adanya hambatan bahasa yang mungkin terasa asing bagi para migran. “Karena sejarah perpindahan mereka, sangat sulit untuk berkomunikasi dalam bahasa baru. Di sisi lain, semakin sedikit yang kamu katakan, semakin sedikit yang akan kamu tahu, dan semakin sedikit rasa sakit yang akan terpikirkan di benak mereka.”

Yee menerjang rintangan generasi ini dalam seninya. Ia berupaya untuk membuka kisah-kisah yang belum terselesaikan ini kepada audiens yang lebih luas. Dari banyaknya kisah-kisah yang belum terungkap dari praktik migrasi dan asimilasi, hanya sedikit yang bisa diungkapkan karena hambatan bahasa. Ketika mereka yang bagian dari diaspora menemukan diri mereka terbelah antara identitas budaya, nasional, dan etnis, ada kekurangan pengetahuan dalam menghubungkan kembali dengan apa yang tidak diketahui. 

“Kerinduan tertanam melalui praktik-praktik linguistik, budaya, emosional, dan kekeluargaan. Mereka [para diaspora] tidak diberikan bahasa untuk dapat mengambil bagian dalam praktik-praktik tersebut,” kata Yee. Keterputusan yang tidak terpenuhi ini disandingkan dengan judul karya seni A Language Not in Denial of Longing. Ketika para migran dihadapkan pada hambatan bahasa dan individu diaspora kekurangan sumber daya, di situlah kesenjangan semakin parah.

Seeking

Di sisi lain, Seeking (Dicari, 2021) “mengganggu” ruang publik dan berfungsi untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat. Rangkaian iklan yang penuh candaan ini terdapat dalam bentuk fisik dan digital serta berusaha untuk melibatkan komunitas yang aktif. Ditampilkan di berbagai kota, poster yang singkat dan padat ini berulang kali menyinggung diskusi tentang diaspora. Yee terinspirasi oleh Want Ads karya Nadia Myre, di mana ia menyemprotkan slogan-slogan tentang mencari koneksi pribadi di sepanjang jalan Vancouver pada tahun 1990an. 

Seeking (2021)

Dibimbing oleh Myre saat mengambil sarjana di Concordia University, Montreal, Yee telah mengenal karya Myre sebelum mengambil kelas yang diajar seniman tersebut. “Beliau bukan orang yang banyak bicara, tetapi saya merasa bahwa beliau benar-benar ingin menjadi semacam figur mentor yang baik hati dalam kehidupan murid-muridnya,” kenang Yee. 

Yee tertarik pada karya techspace Myre pada tahun 1990an. Ia mengagumi bahasa puitis yang menggambarkan kegiatan sehari-hari dalam karya tersebut. Alih-alih menciptakan karya seni yang mungkin sulit dipahami oleh audiens yang lebih luas, Yee justru tersentuh oleh upaya Myre untuk menyertakan semua orang sebagai bagian dari pengamatan karya seni. 

“Saya tidak merasa bahwa karya seni ini terlalu mengasingkan bagi orang-orang yang hanya berjalan melewatinya, karena karya seni ini sedikit aneh sehingga kamu berhenti untuk memperhatikannya, tetapi masih jelas terbaca,” jelas Yee. Ia menginterpretasikan karya Myre ke dalam gaya seninya sendiri. Kerinduan ini kemudian beralih menjadi tujuan pencarian Yee melalui iklan dan poster komunitas. 

Sebagaimana bahasa dan nada tetap menjadi tema yang konsisten di seluruh karyanya, Yee menyinggung pembahasan mengenai pencarian komunitas, tradisi, kenangan, perasaan, dan keadilan. Tertarik dengan iklan komunitas dan bahasa poster dengan tulisan tangan, ia berusaha untuk menyusun ruang konvensional untuk pemikiran introspektif. “Saya begitu tertarik dengan perambuan karena mereka ada di mana-mana dan kita dilatih untuk mematuhinya. Jadi, dengan mengambil gaya ruang publik dan apa yang biasa kita terima begitu saja, saya ingin bermain-main dengan ekspektasi,” kata Yee. 

Karya ini perlu dipajang di ruang publik alih-alih ruangan yang dikurasi. “Kenyataan bahwa saya sengaja tidak meninggalkan nomor apapun yang bisa disobek membuat nihilnya cara yang tepat untuk menanggapi karya ini,” jelas Yee. “Jadi, yang karya ini lakukan adalah memberikan kebebasan kepada orang-orang yang melihatnya untuk melakukan apa yang mereka mau dengan karya tersebut.”

Seeking (2021)

Selebihnya, Yee ingin para audiens memberikan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri dengan cara yang inovatif. Dengan membuat karya dengan gagasan keselamatan, rangkaian poster yang dipajang terus berkembang sebagai respons terhadap masalah sosial dan interpersonal yang genting. Bagi audiens atau Yee untuk menemukan jawaban ini, mereka dapat memulai percakapan tentang apa yang harus dilakukan untuk masalah ini. “Saya pikir ada banyak peristiwa besar di mana tidak ada cara nyata atau cara benar untuk menyikapinya, tetapi mudah-mudahan itu bisa menjadi pertanyaan yang lebih besar yang melekat bagi para audiens,” ungkap Yee. 

Prosa dan Puisi

Saat ini, Yee sedang mengerjakan proyek besar berjudul Tangerine yang terinspirasi dari Grapefruit karya Yoko Ono. Buku tersebut merupakan serangkaian instruksi dan petunjuk yang diusulkan oleh Ono kepada orang lain yang ingin melakukannya. Kedua karya seni ini memiliki peran yang sama, karena keduanya menjadikan audiens sebagai partisipan aktif. Dengan menggabungkan citra berbasis teks, isu-isu yang menyenangkan dan belum terselesaikan dikemas secara humoris dalam buku Yee.

Melalui seni, Yee berusaha menemukan keseimbangan dan secara aktif berusaha untuk mencari “nada” yang lebih lembut dalam dirinya dan orang lain. “Saya melihat karya saya menjadi lebih luas dan lebih tenang. Bukan dalam artian seperti berbicara, tetapi seseorang pernah mengatakan kepadaku bagaimana karyaku terkesan pucat dan terpendam. Saya sering berpikir tentang bagaimana saya ingin menjadi gema daripada pengeras suara,” ungkapnya.

Yee juga mendefinisikan perbedaan antara prosa dan puisi selama percakapan kami. “Menurut saya, perbedaan terbesar bagi saya adalah saya tidak pernah menganggap karya itu sebagai sesuatu yang diucapkan dengan suara keras. Seni adalah sesuatu yang hanya dapat dibaca di dalam pikiranmu dan akan tetap di dalam situ.” Meskipun Yee menggunakan kata dan bahasa dalam karya seninya, ada elemen tambahan seperti bagaimana karya tersebut berinteraksi dengan rambu dan ruang publik. Dengan mempertimbangkan kesadaran spasial, Yee mendefinisikan karyanya sebagai “puisi yang khusus untuk lokasi tertentu.”

Yee secara langsung menantang masalah antargenerasi diaspora Asia melalui karyanya yang inovatif. Dengan mengangkat budaya dan wacana tentang identitas, seksualitas, dan budaya, karyanya mendorong perubahan dan percakapan sulit yang muncul ketika membahas pengalaman migran. 

Jika kamu ingin melihat lebih banyak karya Lan Florence Yee, kunjungi situs pribadi dan akun Instagram-nya.

Ingin mengenal lebih banyak seniman Asia? Baca liputan kami tentang Infinity Mirror Rooms Yayoi Kusama di sini! (Artikel dalam bahasa Inggris.)